Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

SERTIFIKASI, TUNJANGAN PROFESI ATAU TUNJANGAN KESEJAHTERAAN!

Sudah profesionalkah guru-guru setelah program sertifikasi dilaksanakan? Atau hanya sekedar meningkatkan kesejahteraan guru? Satu dekade program sertifikasi guru telah dilaksanakan oleh pemerintah. Program yang bertujuan untuk meningkatkan status pekerjaan guru menjadi profesi sehingga mereka layak diberikan tunjangan sertifikasi yang saat ini lebih popular disebut sebagai TPP atau tunjangan profesional pendidik. Sejak di sahkannya undang-undang guru dan dosen nomor 14 tahun 2005 maka status guru sebagai PNS biasa saja resmi menjadi pekerjaan profesi yang artinya setara dengan dokter, pengacara, akuntan dan lain sebagainya.
Sejak itu kehidupan para guru yang telah melalui proses sertifikasi mulai membaik, kesejahteraan mereka tidak lagi seperti dulu, sekarang sebagian guru-guru sudah mulai banyak memiliki kendaraan roda empat yang jauh sebelum itu mungkin saja mereka tidak pernah memikirkannya. Kita kembali ke jaman sebelum sertifikasi dilakukan. Kehidupan guru masih sangat sederhana, predikat sebagai pahlawan tanpa tanda jasa sangat melekat, mereka melaksanakan tugas betul-betul dengan niat ikhlas semata-mata ingin menciptakan generasi-generasi terbaik, generasi yang kedepan diharapkan mampu mengelola negeri ini dengan baik.
Sangat memperihatinkan jaman itu, bahkan perguruan tinggi negeri dan swasta dengan basis pendidikan atau pencetak guru pada waktu itu sangat sedikit dilirik oleh mereka yang akan melanjutkan kuliah. Para lulusan-lulusan terbaik sekolah menengah saat itu tidak ada yang tertarik untuk menjadi guru, mereka ketika di tanya tentang cita-cita dari 30-an peserta didik dalam kelas mungkin hanya satu dua orang yang bercita cita menjadi guru, itupun para siswa yang secara akademik memiliki kemampuan dibawah rata-rata. Mereka dengan kemampuan akademik di atas rata-rata ketika ditanya lebih banyak menjawab untuk menjadi dokter, insinyur, menjadi pegawai bank, menjadi arsitek. Sangat dimaklumi, mungkin mereka melihat bahwa rata-rata kehidupan guru waktu itu kurang layak, dan dalam benak mereka kedepan harus berkehidupan yang lebih baik.
Itulah yang terjadi sebelum UUGD no. 14 tahun 2005 di sahkan. Hari ini kita melihat perbedaan yang cukup mencolok, setiap tahun PTN dan swasta pencetak guru selalu ramai. Contohnya saja antara UNM dan UNHAS hampir berimbang dalam hal peminatan. Lulusan terbaik sekolah menengah tidak lagi memandang UNM sebagai pilihan terakhir, tetapi sudah mulai dilirik menjadi pilihan utama, alasannya kesejahteraan guru saat ini sangat menjanjikan. Setiap tahun penerimaan tenaga-tenaga pengajar baik nageri maupun swasta menjamur dengan tawaran penghasilan yang cukup tingggi bahkan kadang bisa dibilang fantastik. Sekolah-sekolah swasta di ibukota-ibukota propinsi sebut saja misalnya Sekolah Islam Athira gaji guru-gurunya bisa mencapai 4 sampai 5 juta perbulan sebuah angka yang terbilang tinggi bahkan setara dengan gaji guru pns golongan 4a yang sudah mengabdi 20 tahunan.
Profesi apapun jika sudah berlabel profesional maka selayaknya memang mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi atau mendapatkan bayaran lebih atas lelah dan kerja kerasnya. Menurut kamus besar bahasa Indonesia arti profesional adalah memiliki keahlian khusus, itu artinya guru harus memiliki segala macam kemampuan baik itu pengetahuan yang menunjang dalam melaksanakan profesinya. peluncuran guru sebagai profesi oleh Presiden bapak SBY merupakan angin segar bagi para guru yang lemudian ditindak lanjuti setahun kemudian dengan diterbitkannya UUGD no 14 tahun 2005 tepatnya tanggal 15 Desember 2005. Keseriusan pemerintah dalam meningkatkan taraf hidup guru terlihat dari penerbitan UU tersebut. Menurut UUGD no 14 tahun 2005 bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (Bab I, Pasal 1). Jika merujuk pada UU ini maka yang di sebut guru adalah yang telah memperoleh sertifikat pendidik sebagai mana dimaksud dalam UU tersebut. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana kondisi pendidikan setelah diberlakukannya sertifikasi guru? Apakah kualitas pendidikan meningkat? Apakah kompetensi guru juga meningkat? Faktanya apa yang terjadi sekarang ini belumlah menunjukkan perubahan signifikan, kualiatas pendidikan kita masih rendah, bahkan merujuk pada satu bagian saja misalnya literasi dalam sebuah penelitian Indonesia hanya berada di peringkat dua dari bawah dari 61 negara.
Hal ini berarti seandainya survei yang dilakukan hanya 60 negara maka indonesia berada pada peringkat terakhir. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa di indonesia rata rata penduduknya dalam setahun hanya mampu menyelesaikan satu buku. Hal ini menjadi tantangan bagi dunia pendidikan di Indonesia dan beban itu lagi-lagi ada di pundak guru. Guru tidak boleh berhenti ketika sudah diberikan tunjangan sertitikasi (baca: tpp). Guru harus selalu mengupgrade dirinya, harus selalu berusaha meningkatkan kompetensinya. Secara nasional berdasarkan hasil UKG 2015 yang lalu masih cukup rendah hanya berada di angka kurang lebih 56,69.
Meskipun banyak yang menyangkal bahwa hasil UKG itu tidaklah menggambarkan secara utuh kompetensi guru, tetapi paling tidak, hal ini bisa menjadi renungan bagi guru-guru itu sendiri, sebenarnya tidak mengherankan juga jika hal tersebut terjadi karena kebanyakan terlena setelah menerima tunjangan mereka menganggap itu adalah untuk kesejahteraan, setelah menerima tunjangan ada sebagian yang langsung membeli mobil, naik haji, membangun rumah, dan hanya sekitar 14 % saja yang digunakan peningkatan mutu dan kompetensi. Tidak salah dan sangat dimaklumi tetapi harusnya juga diimbangi dengan upaya dalam hal peningkatan kualitasnya sebagai guru. Seorang guru profesional haruslah menguasai segala macam keterampilan dan kompetensi mengajar yang salah satunya adalah kemampuan IT dan literasi. Setiap guru harusnya sudah bisa menggunakan laptop maupun PC, sudah memiliki infocus sendiri, paling dan membeli berbagai macam buku untuk referensi serta mampu menguasai IT karena hal inilah yang dapat menunjang dalam profesinya.
Perlunya membangun pembelajaran yang menyenangkan dan tidak membosankan agar peserta didik belajar dengan baik. Hal ini akan dapat diwujudkan jika kompetensi mengajar guru guru sudah baik pula. Jika itu terjadi maka sesungguhnya kejadian kejadian orang tua melaporkan guru ke polisi atau tindak kekerasan kepada anak tidak perlu terjadi. Cuma sayangnya yang terjadi dilapangan adalah tunjangan sertifikasi lebih cenderung ke tunjangan kesejahteraan, minat guru terhadap kegiatam seminar dan pelatihan berbayar sangatlah kurang. Mereka mau mengikuti pelatihan jika itu dibiayai oleh pemerintah yang kadangpun pelaksanaannya dan hasilnya kurang efektif. Perubahan persepsi dari tunjangan profesi ke tunjangan kesejahteraan wujud dari penghidupan para guru yang kurang layak dimasa lampau. Kita pun tidak bisa menafikan hal tersebut, tapi setidaknya ada kesadaran jua oleh para guru untuk tetap berusaha melengkapi diri dengan kompetensi mengajar yang baik. Lahirnya organisasi organisasi profesi merupakan perwujudan kesadaran guru untuk mengembangkan diri juga merupakan amanah UU sebagaiman dimaksud bahwa guru wajib menjadi anggota organisasi profesi. Salah satu organisasi profesi yang juga telah diakui oleh pemerintah dan telah di sahkan oleh kemhumkan adalah IGI. IGI lahir atas kesadaran bahwa guru harus senantiasa meningkatkan kompetensinya. Bersama IGI kita menyonsong era pendidikan yang berkualitas yang setara dengan negara negara maju lainnya di dunia.

Alu, 18 Juni 2016
ABDUL MUJID

SEKRETARIS  IGI POLMAN
Abdul Mujid
Abdul Mujid Guru Sederhana di daerah terpencil yang bermimpi untuk selalu memberikan yang terbaik.....

Posting Komentar untuk "SERTIFIKASI, TUNJANGAN PROFESI ATAU TUNJANGAN KESEJAHTERAAN!"